I.
PENDAHULUAN
Penegakan dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undangundang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000.
Undang-undang ini merupakan undangundang yang secara tegas menyatakan sebagai
undang-undang yang mendasari adanya
pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para
pelaku pelanggaran HAM berat.
Undangundang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang
akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. pengadilan ini dikatakan khusus karena dari
segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM dan
kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah
pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena
memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga
merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan
berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau
pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan
yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang
berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana
komposisinya berbeda denga pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini
komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah
hakim ad hoc. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas
kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan
pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas
adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses
peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan
fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku
pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban, adanya pengadilan HAM akan
mengupayakan adanya keadilan bagi mereka. UU No. 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk
kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya,
pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan
dengan
lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26
Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang
tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus.
Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih
banyak didasarkan atas penafsiran hakim
ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.
II.
PERMASALAHAN
a.
Pengadilan HAM : Setelah disyahkannya UU No. 26/ 2000
Berdasarkan
ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM mengatur tentang yurisidksi atas
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat baik setelah disyahkanya UU ini maupun
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sebelum disyahkannya UU ini. Prosedur
pembentukan pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam
penanganan kasuskasus pelanggaran HAM yang berat setelah disyahkannya UU ini
tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden sebagaimana dalam pembentukan
pengadilan HAM ad hoc (mengenai pengadilan HAM ad hoc akan diuraikan dibagian
bawah).
Prosedur
pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah terjadi kasus
pelanggaran HAM yang berat. Dugaan adanya kasus pelanggaran yang berat ini
kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran
HAM (KPP HAM). Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan
adanya pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung
untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil
penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk
tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan
bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian
digelar pengadilan HAM berdasarkan kompetensi relatif pengadilan. Tempat
pengadilan ini berada di pengadilan negeri dimana locus dan tempos
delictie terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
Pengalaman
pembentukan pengadilan HAM setelah disyahkannya UU ini adalah Pengadilan HAM
Abepura yang disidang di Pengadilan Negeri Makassar. Kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Abepura Papua terjadi pada tanggal 7 Desember 2000, yang kemudian
oleh Komnas HAM di tindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan pro yustisia
pada tanggal 5 Februari 2001. Setelah penyelidikan KPP HAM ini selesai kemudian
hasil penyelidikan ini diserahkan ke Jaksa Agung. Kejaksaan Agung berdasarkan
atas Laporan KPP HAM, kemudian melakukan serangkaian penyidikan dengan
membentuk Tim Penyidik Pelanggaran HAM di Abepura. Setelah adanya kelengkapan
penuntutan maka Pengadilan ini akhirnya sidang pertama dilaksanakan pada
tanggal 7 Mei 2004 di Pengadilan Negeri Makassar. Pemilihan pengadilan HAM di
Makassar ini berdasarkan pada ketentuan pasal 45 UU No. 26/2000 dimana untuk
pertama kalinya pengadilan HAM dibentuk di Jakarta, Medan, Surabaya dan
Makassar. Wilayah yurisdiksi pengadilan HAM Makassar meliputi Papua/Irian Jaya.
Kasus lain yang dilakukan penyelidikan berdasarkan adanya dugaan terjadinya
pelanggaran HAM di Wasior yang berawal pada tanggal 13 Juni 2001 dan Wamena
Papua yang berawal dari peristiwa pada tanggal 4 April 2003. Komnas HAM
membentuk KPP HAM Papua yang bekerja pada tanggal 17 Desember 2003 sampai
dengan 31 Juli 2004. Laporan KPP HAM Papua ini, setalah menyimpulkan bahwa
terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat di dua wilyah tersebut kemudian
menyerahkan hasil laporan tersebut ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke
tahap penyidikan. Proses pembentukan pengadilan HAM ini adalah proses
peradilan yang tidak melibatkan adanya intervensi pihak lain, misalnya DPR, sebagaimana pengadilan HAM ad
hoc. Namun dari pengalaman proses pengadilan HAM Abepura juga terdapat beberapa
permasalahan misalnya mengenai pelaksanaan pengadilan HAM di Makassar untuk
kasus yang terjadi di Papua. Konsekuaensinya adalah keterbatasan dalam
menghadirkan para saksi korban dari Papua ke Makassar.
b.
Pengadilan HAM ad hoc : Sebelum adanya UU No. 26/2000
Pengadilan HAM ad hoc adalah
pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran
HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000, berbeda
dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan mengadili perkara
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun
2000.
Ketentuan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc menurut
pasal 43 UU No. 26/2000 adalah:
1. Pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
2. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
3. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
Penjelasan pasal 43 ayat (2) menyatakan:
“Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia yangberat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.”
Pasal 44 UU No. 26/2000 menentukan tentang prosedur hukumnya
:
“Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad
hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang
ini”
Penjelasan pasal 43 UU No. 26/2000 menyatakan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya
pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran
HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu
yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Masalah rumusan
sebagaimana dalam pasal 43 diatas menimbulkan masalah yang cukup serius
terutama berkaitan dengan kewenangan DPR untuk menentukan ada tidaknya
pelanggaran HAM yang berat berdasarkan pada penjelasan pasal 43 ayat (2).
Rumusan ini bisa ditafsirkan bahwa DPR yang dapat menentukan dugaan ada
tidaknya pelanggaran HAM yang berat. Dari ketentuan dalam pasal 43 berkenaan dengan
pengadilan HAM ad hoc ini terdapat beberapa hal yang menjadikan proses
pengadilan HAM ad hoc sulit diaplikasikan dalam pembentukannya. Beberapa
persoalan tersebut adalah a) penerapan tentang asas retroaktif, b) proses
pembentukan pengadilan HAM ad hoc dan c) kewenangan DPR dalam menentukan
pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
c.
Asas Retroaktif
Adanya Pengadilan HAM ad hoc ini
memunculkan persoalan isu tentang asas retroaktif dalam penjelasan umum UU No.
26/2000 yang dianggap sebagai pelanggaran atas asas legalitas dalam hukum
pidana. Dari penjelasan umum dapat disimpulkan bahwa kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan atau delik baru dalam hukum
Indonesia sehingga setiap penerapan
atas delik ini untuk untuk kasus-kasus masa lalu dianggap sebagai berlakunya
asas retroaktif.22 Dalam penjelasan umum diatas juga dinyatakan bahwa landasan
konstitusional yang digunakan adalah pasal 28 huruf j ayat (2). Dengan ungkapan
lain bahwa asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi
manusia itu sendiri. Kontroversi atas penerapan asas retroaktif ini menunjukkan
bahwa terdapat dua perspektif yang
bertentangan mengenai penerapan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM yang
berat. Pandangan pertama mengindikasikan bahwa penerapan asas retroaktif ini
bertentangan dengan asas kardinal dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan
bertentang dengan zormanorma yang lain. Sedangkan pandangan kedua, dan ini yang
diikuti oleh penyusun undang-undang, bahwa asas legalitas dapat disimpangi
berdasarkan hukum internasional. Pada awalnya praktek peradilan internasional
terhadap para pelaku kejahatan internasional (pelanggaran HAM yang berat)
ditempuh oleh masyarakat internasional dengan membentuk ad hoc extrajudicial
tribunal. Telah menjadi kesepakatan universal bahwa sejak berakhirnya
perang dunia ke II kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan harus diperangi dan
diadili. Para pelakunya sedapat mungkin diadili, dan jika terbukti bersalah
harus dihukum, untuk menunjukkan bahwa jenis kejahatan ini sama sekali tidak
bisa ditolerir dan harus dicegah dari kemungkinan berulang dimasa yang akan
datang. Pikiran inilah yang mendasari dan menjadi alasan dari pembentukan ad
hoc extra judicial tribunal. Peradilan ini bersifat extra legal atau
extra judicial, karena dibentuk dengan sangat terpaksa untuk mensiasati
kekosongan norma-norma internasional dan adanya pertentangan antara norma
internasional dan norma nasional. Peradilan yang dibentuk adalah peradilan
untuk kasus Nurenberg dan Tokyo.
III.
PEMBAHASAN
Ketentuan
pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau
mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad
hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya dugaan
terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk
kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timor menunjukkan bahwa mekanismenya
adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke Kejaksaan
Agung, yang kemudian Kejaksaan Agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan
diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan
rekomendasi. Presiden selanjutnya mengeluarkan keputusan presiden tentang
pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Ketentuan tentang adanya beberapa tahap
untuk pembentukan pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang
berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat
adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1. adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil
penyelidikan kasus masa lalu oleh Komnas HAM.
2. adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3. adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk
mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempos dan locus delicti tertentu.
4.adanya keputusan presiden
(keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc
Dengan
alur proses menuju pengadilan HAM ad hoc yang pernah terjadi untuk kasus
Timor-timur dan Tanjung Priok ini dalam prakteknya ternyata tidak bisa menjadi
yurisprudensi untuk kasus yang lainnya. Beberapa kasus yang sampai saat ini
belum bisa dibawa ke pengadilan ham ad hoc masih terganjal karena tidak
jelasnya mekanisme tentang bagaimana sebuah kasus yang diduga sebagai pelanggaran
HAM yang berat sebelum UU No. 26/2000 ini. Pengalaman kasus Trisaksi dan
Semanggi menunjukkan bahwa pola hubungan kerja antara DPR dengan Komnas HAM
tidak jelas dimana pada saat yang bersamaan kedua institusi ini melakukan
tindakan penyelidikan untuk kasus tersebut. Komnas HAM membentuk Komisi
Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) untuk kasus Trisaksi dan Semanggi pada
tanggal 5 Juni 2001 sementara DPR membentuk Panitia Khusus yang menentukan
bahwa kasus Trisaksi dan Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat
dan pada tanggal 28 Juni 2001 (melalui Bamus) merekomendasikan agar penanganan
ketiga kasus tersebut dilakukan melalui pengadilan umum dan pengadilan
militer.31 Dari kasus ini menunjukkan bahwa ada ketidakjelasan yang mempunyai
implikasi atas kekacauan dalam penerapan UU No. 26/2000 terutama dalam
membentuk pengadilan HAM ad hoc.
IV.
KESIMPULAN
Sejak tahun 2000, dengan
diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Indonesia mempunyai
mekanisme untuk melakukan penuntutan data kasus-kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya mekanisme ini membuka peluang
dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat yang sebelumnya menikmati impunitas
ke depan pengadilan. Pengadilan ini juga memberikan mekanisme untuk pemenuhan
hak-hak korban yakni pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Namun, Putusan-putusan pengadilan HAM sampai saat ini secara umum belum
memberikan hasil sebagaimana harapan banyak pihak sebagaimana saat awal
pengadilan ini diupayakan. Berbagai factor memang mempengaruhi perjalanan
pengadilan HAM di Indonesia, selain regulasi juga factor-faktor lainnya, oleh
karenanya untuk perkembangan kedepan penting untuk melakukan perbaikan dalam
tataran regulasi sebagai landangan pengadilan HAM yang kuat.
V.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
3. UU No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM
4. Undang-Undang Dasar 1945
5. Abidin, Zainal (2005) “Pengadilan
Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Seri Bahan Bacaan Khusus untuk Pengacara X:
2005. Jakarta: Elsam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar